Beranda | Artikel
Musafir, Beberapa Jenis Perjalanan Yang Membolehkan Pelakunya Tidak Berpuasa
Minggu, 3 Mei 2020

ALASAN-ALASAN YANG MEMBOLEHKAN SESEORANG UNTUK TIDAK BERPUASA PADA SIANG HARI DI BULAN RAMADHAN

Pembahasan 2
M U S A F I R
Bagian Kedua: Beberapa Jenis Perjalanan yang Membolehkan Pelakunya Tidak Berpuasa
Dalam syarat perjalanan seseorang, tidak boleh bertujuan untuk menyiasati agar boleh tidak berpuasa. Jika dimaksudkan untuk itu, maka diharamkan baginya untuk tidak berpuasa, dan pada saat itu, hukum puasa baginya adalah wajib.

Para ahli fiqih رحمهم الله telah bersepakat membolehkan ber-buka dalam perjalanan yang hukumnya wajib, misalnya perjalanan jihad, haji dan umrah, sebagaimana yang menjadi pendapat Jum-hur Ulama yang membolehkan tidak berpuasa dalam perjalanan yang hukumnya sunnat dan mubah, sebab keduanya berdekatan dengan wajib, karena adanya ketetapan tidak berpuasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat pulang dari perjalanan wajib dan kepulangan tersebut merupakan suatu hal yang mubah. Sedangkan perjalanan sunnat adalah perjalanan dalam rangka ketaatan kepada Allah.

Adapun perjalanan untuk kemaksiatan, maka (pendapat) para ulama terbagi dua, yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengharamkan berbuka. Contoh dari perjalanan itu adalah perjalanan menuju ke negeri kafir untuk mencari tempat-tempat prostitusi, obat-obatan terlarang, kejahatan, penjegalan, pencurian, dan orang yang sejalan dengan mereka yang berusaha menyebarkan kerusakan di muka bumi, serta mengganggu kehormatan dan harta orang-orang mukmin. [1]

Bagian Ketiga: Jarak Perjalanan yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa
Pembuat syari’at Yang Mahabijaksana telah menggantungkan qashar shalat dan pembolehan tidak berpuasa pada kemutlakan perjalanan tanpa batasan. Hanya saja ketika perjalanan itu menjadi tempat kesulitan, dan kesulitan itu tidak terjadi kecuali pada perjalanan yang panjang, maka para ulama رحمهم الله telah berbeda pendapat mengenai batasan jarak perjalanan yang membo-lehkan tidak berpuasa.

Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa jarak perjalanan yang dibolehkan untuk tidak berpuasa adalah perjalanan selama dua hari penuh atau lebih, yang kira-kira setara dengan 80 kilometer (perjalanan zaman dahulu-ed.).

Ada juga yang berpendapat, bahwa jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa adalah perjalanan selama tiga hari.

Serta ada yang berpendapat bahwa jarak perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa adalah satu hari saja.

Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwasanya tidak ada batasan dalam jarak perjalanan yang membolehkan untuk tidak berpuasa, tetapi yang disebut perjalanan adalah menurut kebiasaan (anggapan masyarakat), maka dibolehkan di dalamnya untuk tidak berpuasa.

Yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena jarak dua hari perjalanan membutuhkan persiapan tersendiri dan secara lahiriah mengandung kesulitan (menurut penulis-ed.).

Pendapat ini yang menjadi pedoman sejumlah Sahabat dan Tabi’in. Dan itu pula yang menjadi pendapat tiga Imam; Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad,رحمهم الله.

Di dalam kitab Majmuu’ Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “…Adapun ukuran perjalanan yang membolehkan qashar shalat dan berbuka, maka menurut madzhab Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad bahwa ia sejarak perjalanan dua hari dengan menaiki unta dan dengan berjalan kaki sejauh 16 farsakh[2], sebagaimana jarak antara Makkah dan ‘Asfan atau Mak-kah dan jarak antara Jeddah. Abu Hanifah mengatakan, ‘Perja-lanan tiga hari.’ Sedangkan sekelompok ulama Salaf dan Khalaf mengatakan, ‘Bahkan orang yang melakukan perjalanan kurang dari dua hari boleh mengqashar dan tidak berpuasa. Dan inilah pendapat yang kuat.’” [3]

[Disalin dari buku “Meraih Puasa Sempurna”,  Diterjemahkan dari kitab “Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab”, karya Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
_____
Footnote
[1] Lihat kitab Badaa-i’ush Shanaa-i (I/93), Bidaayatul Mujtahid (I/285), al-Majmuu’ (VI/261), serta al-Mughni (IV/406).
[2] 1 farsakh sama dengan 3 mil dan 1 mil kira-kira sama dengan 1609 m.
16×3=48, 48×1609=77232, yakni lebih dari 77 km, sehingga kita genapkan menjadi 80 km.
[3] Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/212). Dan perlu dicatat bahwa Syaikhul Islam kembali kepada pendapat terakhir yang tidak membatasi jarak, tetapi mengikatnya dengan kebiasaan atau anggapan yang berlaku (inilah sebenarnya pendapat terkuat dari seluruh pendapat yang ada-ed.).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/15683-musafir-beberapa-jenis-perjalanan-yang-membolehkan-pelakunya-tidak-berpuasa.html